OPINI - Demokrat mau dicaplok melalui PK di Mahkamah Agung. Hingga hari ini, ada keraguan, Demokrat jadi dicaplok atau tidak. Kalkulasi ledakan tentu jadi pertimbangan. Ini soal politik. Hukum yang ditunggangi politik, itu hal biasa di negara ini. Dicaplok, lalu meledak, ini akan berpengaruh pada nasib bangsa. Juga nasib para penguasa.
Plan A, sepertinya gagal. Plan B mulai dimainkan. Ada yang tawari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jadi cawapres Ganjar. Bujuk AHY agar keluar dari koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Ini surga, tapi bisa jadi neraka. Surga, kalau tawaran itu benar-benar sampai pendaftaran. Lalu, Ganjar menang di pilpres 2024.
Jika tawaran itu tidak sampai pendaftaran pilpres, ini akan jadi neraka. Seperti mengulang kasus pilpres 2019. Itulah PHP-politik. Akan selalu memakan korban di setiap pemilu. Anda pasti bertanya-tanya, siapa korban PHP di pilpres 2019. Silahkan cari informasinya.
Jika AHY akhirnya daftar di pilpres 2024 sebagai cawapres Ganjar, tapi kalah, maka, dunia akan terasa jadi kiamat. Terlanjur distigma "pengkhianat", kalah lagi. Maju dua kali, kalah terus. Kalah di pilgub DKI 2017, lalu kalah di pilpres 2024.
Sebelumnya, Hasto Kristianto, sekjen PDIP tegas mengatakan tidak akan mungkin PDIP berkoalisi dengan Demokrat, Nasdem dan PKS. Sekali lagi, tidak mungkin berkoalisi dengan tiga partai itu, termasuk Demokrat. Kalimat Hasto jelas dan tegas. Beritanya viral dan publik membacanya.
Mendadak, AHY ditawari jadi cawapres Ganjar. Lalu, Puan Maharani ajukan proposal untuk ketemu AHY. Terus, apa makna dari kalimat Hasto Kristianto yang secara tegas mengatakan "tidak mungkin PDIP berkoalisi dengan Demokrat?" Beda kata, beda keputusan.
Narasi Hasto masuk akal mengingat ada masalah psikologi yang cukup serius antara Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Megawati merasa dikhianati dengan pencapresan SBY di 2004. 19 tahun lalu. Dan selama 19 tahun hubungan Mega-SBY belum pernah membaik. Apakah tawaran ke AHY untuk menjadi cawapres Ganjar adalah manuver balasan PDIP kepada SBY? Demokrat masuk perangkap, lalu ditinggalkan begitu saja. Ini yang menjadi pertanyaan publik.
Publik membaca bahwa tawaran agar AHY jadi cawapres Ganjar semata-mata adalah upaya menjegal Anies Baswedan nyapres. Itu saja. Demokrat tahu itu. SBY dan AHY juga sangat paham.
Tawaran kepada AHY jadi cawapres rupanya dimanfaatkan oleh salah satu kader Demokrat untuk bermanuver. Tekan KPP untuk segera umumkan pasangan capres-cawapres. Apakah ini artinya Demokrat sedang menekan Anies umumkan AHY jadi cawapresnya? Kalau ternyata yang diumumkan jadi cawapres bukan AHY, lalu Demokrat keluar dari koalisi KPP?
Bukankah ketum tiga partai sudah sepakat menyerahkan cawapres kepada Anies Baswedan selaku capres? Kenapa harus ada tekan menekan? Kenapa harus terus menerus ada manuver?
Itulah politik. Jika komitmen menjadi dasar dalam bersikap, iman politik akan semakin kuat. Ini juga sekaligus akan memperkokoh koalisi dan lebih mudah untuk menggunakan energi menuju arena pertarungan. Satu kata: soliditas.
Apapun godaan yang datang, dan akan bertubi-tubi disodorkan, idealnya koalisi akan tetap solid. Apalagi jika itu dipahami dan disadari sebagai sebuah jebakan, maka harusnya melahirkan tingkat kesolidan koalisi yang semakin tinggi.
Setiap partai anggota koalisi punya ruang untuk melakukan komunikasi politik dengan partai dan tokoh manapun. Ini bagian dari dinamika yang tetap harus mendapatkan kesempatan dalam berdemokrasi. Satu hal yang harus menjadi prinsip jika koalisi ingin tetap utuh, bahwa komunikasi dengan partai dan tokoh manapun mestinya membuat koalisi semakin solid dan menambah kekuatan bagi koalisi. Ini bagian dari etika dalam menjaga komitmen koalisi, jika sungguh-sungguh ingin meraih kemenangan.
Jadi, komunikasi Yes. Dengan siapapun. Tapi koalisi mesti tetap konsisten dengan apa yang telah ditandatangani. Ini berlaku bagi partai dan koalisi manapun. Di sini, para elit punya tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat.
"Satunya kata dengan perbuatan." Ini sikap yang ideal untuk dijadikan referensi oleh rakyat. Sampai di sini, keteladanan elit menjadi sangat penting. Sekali lagi, "keteladanan" bukan "pengkhianatan".
Jakarta, 13 Juni 2023
Penulis: Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa